KONTROVERSI TENTANG PILKADA
KONTROVERSI TENTANG PILKADA
Oleh Kwik Kian Gie
Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam
era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala
Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih
secara langsung oleh rakyat.
Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang
mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah
5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa
Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada
oleh DPRD.
Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak
ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR
terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih
yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang
menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan
oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.
Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada
yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju
maupun yang tidak setuju yalah aspek korupsinya.
Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua
argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan
“Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa
Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan
besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330
Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.
Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para
anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih.
Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para
Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih.
Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh
Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada
langsung.
Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada
Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak
lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke
dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.
Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang
pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama
kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa
menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN
sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang
teriak maling.
Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam
RUU. Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral
dalam NKRI memang benar. Beberapa daerah sangat menonjol kemajuannya
dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang
sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit
daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara
daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan.
Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI.
Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah
yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala
sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah
langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin
merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi
anggaran yang kami minta ?”
Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta
agar Bappenas memberikan pendidikan dn pelatihan kepada para perencana
daerah. Sampai sekarang yang terjadi yalah atau anggaran daerah dipakai
buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan
anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah
sekitarnya.
Argumentasi lainnya yang tertuang dalam RUU yalah
“sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.”
Apa benar argumentasi ini ? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang
telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat
kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu
mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di
berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala
Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.
Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya
kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD
dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu
pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok. Dalam Suara
Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa
“hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %.
Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur
sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar
Rp. 72,9 trilyun. “ Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari
nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87
trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan
sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat
tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.
Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama
Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi
dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3
bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi
awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai.
Todal biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga
utang untuk 3 bulan lamanya.
Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan
pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh
rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan
Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox
dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan
kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.
Hak rakyat yang dirampas
Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak
rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah
kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ? Jumlah rakyat yang
ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk
Prabowo. Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini
saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62
juta suara bukannya nothing.
Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template
yalah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang
Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah
dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan
suara melulu. Dia menggunakan istilah diktatur mayoritas dan tirani
minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan
apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh
dikatakan sama dengan “Rakyat” ?
Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk
yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang
berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk
menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih
secara langsung ?
Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan
untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014
sudah menjadi Rp. 3 milyar.
Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan
rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita
sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat
Indonesia sudah cukup pendidikannya ? Para calon presiden sendiri
mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita
dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya.
Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah
sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.
Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar
biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita
patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya ? Apakah mereka
demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang,
bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif
atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa,
ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran
dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya ?
Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22
September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah
Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku
dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai
bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang
sangat memalukan.
sumber:http://kwikkiangie.com/v1/2014/09/kontroversi-tentang-pilkada/
Comments
Post a Comment